Hiruk Pikuk Pilkada Jakarta
Hiruk Pikuk Pilkada Jakarta dan Ilusi Kesejahteraan
Permasalahan Jakarta begitu kompleks. Jurang antara si kaya dan si
miskin terlihat semakin jelas. Sementara hari ini, Jakarta dihadapkan
dengan hiruk pikuk Pemilukada atau Pilgub DKI. Mampukah Pilgub DKI
menjawab tentang kesejahteraan yang sudah dirindukan oleh sebagian
masyarakat miskin kota Jakarta atau ianya hanya menjadi ilusi dari
manisnya janji-janji politik pasangan calon yang bertarung pada Pilgub
DKI.
Melihat dari aspek historis, lahirnya pemilihan kepala daerah (Pilkada)
langsung merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pilkada melalui
perwakilan oleh DPRD sebagaimana yang pernah diamanatkan Undang-undang
No 22 Tahun 1999. Namun, seiring perjalanan pada akhirnya semakin
kentara dengan implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah yang kemudian direvisi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.
Berpijak pada peraturan atau perundang-undangan Pilkada pun digelar
secara langsung di Indonesia mulai Juni 2005. Ketika Menteri Dalam
Negeri (Mendagri) dipimpin oleh Moh Ma’ruf. Pada tahun 2005 ini,
berdasarkan sumber yang diekspose Depdagri Pilkada telah dilaksanakan di
226 daerah, 197 kabupaten, 36 kota dan 179 propinsi yang diawali
Pilkada di Kutai Negara, Kalimantan Timur dan ditutup Pilkada di
Kabupaten Tapanuli Tengah.
Seiring perjalanan dan pelaksanaan Pilkada dan proses evaluasi yang
dilakukan, ternyata Pilkada yang esensinya melahirkan pemimpin yang kuat
ditingkat lokal dan diharapkan mampu memberikan efek peningkatan
kesejahteraan ternyata belum mampu membuktikan kedua hal itu kecuali
hanya dibeberapa daerah tertentu saja. Pilkada ternyata melahirkan
pemimpin-pemimpin lokal yang pragmatis dan membangun dinasti korup.
Esensi kesejahteraan masyarakat hingga saat ini seolah-olah hanya
menjadi mimpi di siang bolong.
Wajar kemudian, muncul wacana untuk mengembalikan Pilkada langsung ini
kepada DPRD khususnya untuk kepala daerah tingkat I atau propinsi. Bagi
penulis, ini merupakan suatu wacana kemunduran demokrasi lokal.
Seharusnya, kita harus mencari penyakit penyelenggaraan Pilkada dan
kemudian membenahinya menjadi sebuah penyelenggaraan yang lebih mendekat
pada titik kesempurnaan bukan kemudian mengembalikan ke format awal.
Mencari Akar Masalah
Menurut Leo Agustino (2009: 121) dalam bukunya, “Pilkada dan Dinamika
Politik Lokal”. Ada sebelas permasalahan yang menyelimuti Pemilukada.
Namun disini saya hanya menjelaskan 4 saja.
Pertama
tidak akuratnya data pemilih. Masalah data pemilih merupakan masalah
yang mendasar dan hampir seluruh Pemilukada mengalami ketidakakuratan
data pemilih dan pada sebagian daerah menimbulkan gelombang protes.
Kedua
persyaratan calon yang tidak lengkap. Dalam memenuhi persyaratan calon,
terutama yang menyangkut ijazah sering tidak memenuhi persyaratan,
seperti ijazah palsu, tidak punya ijazah atau surat keterangan hilang
dan persamaan status ijazah setingkat SLTA. Kurang telitinya KPUD dalam
melakukan verifikasi berkas administrasi calon dan adanya pengaduan
masyarakat terhadap dugaan ijazah palsu atau pernah dijatuhi hukuman
yang sering kurang mendapat tanggapan.
Ketiga
pengusulan pasangan calon dari partai politik. Berbagai kejadian di
daerah, permasalahan internal Parpol dalam menentukan pasangan calon
membuat pelaksanaan Pemilukada menjadi terhambat. Ada parpol yang
memiliki pengurus kembar, ada yang proses seleksi calon tidak transparan
sehingga menimbulkan protes pengurus dan ada intervensi dari pengurus
pusat ke daerah. Dualisme dukungan ini juga terkadang sempat membuat
Pilkada akhirnya diikuti satu pasang calon dan membuat pelaksanaan
Pemilukada tertunda.
Keempat
KPUD yang tidak netral. Faktor kedekatan dan kekerabatan antara
penyelenggara Pilkada dan pasangan calon memengaruhi tingkat kenetralan
penyelenggara. Selain daripada itu yang sangat dominan kekuasaan
penyelenggara yang begitu kuat tanpa dapat dikoreksi oleh instansi
manapun maupun pengadilan. Kelima, Panwas Pemilukada terlambat dibentuk.
Keenam, money politics atau politik uang. Ketujuh, dana kampanye yang
tidak transparan. Kedelapan, mencuri start kampanye. Kesembilan,
dukungan PNS yang tidak netral. Dalam berbagai kampanya masih ditemukan
PNS yang memihak salah satu pasangan calon dalam banyak praktek terjadi
pemberian dukungan kepada kepala daerah yang mengikuti kembali Pilkada
(incumbent). Kesepuluh, pelanggaran kampanye dan terakhir atau kesebelas
intervensi DPRD.
Masalah ini pada umumnya terjadi apabila DPRD tidak menyetujui pasangan
calon kepala daerah yang terpilih dengan berbagai alasan, sehingga
berkas hasil pemilihan yang dikirim oleh KPUD tidak diteruskan kepada
Gubernur atau Menteri Dalam Negeri, sehingga proses pengesahan kepala
daerah menjadi berlarut-larut maupun DPRD tidak mau melakukan siding
paripurna istimewa seperti yang terjadi pada pelantikan kepala daerah
Kabupaten Boalemo, Gorontalo dan Kabupaten Aceh Tenggara, NAD.
Dengan demikian, dari permasalahan di atas perlu dicarikan solusi untuk
merajut kembali simpul-simpul permasalahan Pilkada yang kusut. Tentu ini
bukanlah sesuatu hal yang mudah, tapi memang bisa dilakukan jika
Mendagri dengan staff-staffnya punya keinginan kuat untuk memperbaikinya
dengan melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi untuk melakukan
riset atau penelitian terkait permasalahan ini. Namun, secara sederhana
penulis barangkali yang diperlukan Mendagri adalah memperbaiki dan
membenahi peraturan-peraturan yang menyebabkan beberapa konflik di atas.
Ilusi Kesejahteraan
Semakin baik kualitas penyelenggaraan Pilkada penulis pikir akan
melahirkan pemimpin yang kuat dan tentunya akan berefek pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Nah inilah yang menjadi harapan kita semua,
namun muncul pertanyaan kemudian, Pilkada yang bagaimanakah yang akan
melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat? Menjawab pertanyaan ini
penulis akan mencoba menjawabnya melalui pendekatan empat elemen penting
dalam Pilkada yakni KPUD, Panwas, partai politik dan pasangan calon
serta masyarakat yang memiliki hak pilih.
Pertama
KPUD sebagai penyelenggara Pilkada. Melihat perannya yang begitu besar
dalam Pilkada diharapkan KPUD mampu memperlihatkan independensinya dan
netralitasnya. Salain itu, diharapkan juga KPUD mampu menjalankan amanah
dan tugasnya dengan baik. Beberapa kasus di daerah, terkesan KPUD
memihak kepada salah satu pasangan calon dan terkadang juga berat
sebelah dalam memberikan perlakuan kepada masing-masing pasangan calon.
Jadi, memang bicara kualitas penyelenggaraan Pilkada, KPUD punya peranan
yang cukup penting dalam menciptakan kompetisi politik yang sehat.
Kedua
Panwas. Peran Panwas kerap kali hanya sebagai simbol seolah-olah
penyelenggaraan Pilkada sudah diawasi dengan sempurna dan acapkali
laporan-laporan dari Panwas juga relatif tidak didengar karena memang
ada aturan-aturan yang melemahkan fungsi Panwas dan pembentukannya juga
terkadang terlambat. Sebagaimana yang dikutip Leo Agustino (2009: 133)
Pasal 7 Undang-undang No. 32 tahun 2004, Panwas Pilkada dibentuk oleh
dan bertanggungjawab serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada
DPRD.
Secara lebih rinci ketentuan ini juga tertuang dalam PP No. 6 tahun 2005
Pasal 104 ayat (2). Menurut pasal ini, DPRD lah yang membentuk Panwas
Pilkada sehingga kemudian memunculkan dilema tersendiri dan terkesan
Panwas Pilkada jauh dari kesan independent, sehingga keberadaannya
membuat nyaris tak bertaji. Anggaplah memang ini suatu takdir yang harus
dilakoni dalam rangka memenuhi standari demokrasi yang prosedural, tapi
ke depan memang hal ini harus diperbaiki.
Ketiga
pasangan calon dan partai politik. Untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat kita membutuhkan pasangan calon pemimpin yang kuat. Kuat dari
berbagai sisi baik politik maupun ekonomi. Pasangan calon harus
bermental entrepreneurship dan memiliki pengalaman yang cukup untuk
mengatur birokrasi yang merupakan roda yang menjalankan pemerintahan di
daerah. Ini sangat penting, tapi ini juga sangat tergantung dengan peran
partai politik, selama ini partai politik kurang mampu memaksimalkan
perannya sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat atau kadernya.
Terbukti, sebagian besar partai politik lebih menjagokan tokoh-tokoh
populer bahkan artis untuk diusung menjadi bakal calon kepala daerah
dibandingkan kader sendiri. Inilah titik kelemahan, mesin partai tidak
berjalan begitu efektif. Figuritas terkadang menjadi faktor penentu yang
menentukan bakal calon kepala daerah bisa menang atau tidak dalam
kompetisi. Ke depan barangkali partai politik perlu mengedepankan
kualitas pasangan calon dan bisa lebih menghidupkan mesin partainya.
Keempat
masyarakat pemilih. Nah, masyarakat yang sudah memiliki hak pilih juga
harus cerdas dalam menyikapi siapa bakal calon yang akan mereka pilih.
Mereka harus benar-benar kenal dengan siapa bakal calon yang akan mereka
pilih kelak, tidak hanya sekedar populiritas di media tapi tahu persis
apa yang akan dilakukan bakal calon walikota yang mereka pilih,
seandainya terpilih menjadi kepala daerah kelak. Kecerdasan masyarakat
pemilih ini juga bisa dilihat bagaimana mereka menyikapi politik uang
pasangan calon.
Sebuah fenomena yang cukup menarik, saat ini pasangan calon yang
memberikan uang tidak menjadi sebuah jaminan untuk menang karena
terkadang uangnya saja diambil, tapi soal pilihan ternyata tidak bisa
dipaksakan. Nah, kekuatan kecerdasan pemilih ini bisa juga mendorong
lahirnya kepemimpinan yang kuat yang lebih memprioritaskan rakyat dalam
setiap pengambilan keputusan atau kebijakannya. Setiap elemen di atas
memang harus saling dikuatkan, tidak bisa tidak. Jika tidak Pilkada yang
diharapkan akan melahirkan kepemimpinan yang kuat dan kesejahteraan
hanyalah sebuah khayalan atau ilusi masyarakat pemimpi. Semoga kita
memahimanya!
http://suar.okezone.com/read/2012/06/13/58/646289/pilkada-jakarta-dan-ilusi-kesejahteraan